IBM, melalui studi berjudul “Augmented work for an automated, AI-driven world” dari IBM Institute for Business Value, minggu lalu mengatakan di Jakarta bahwa ada kesenjangan antara pelaku usaha dan karyawan tentang prioritas di tempat kerja berkat AI (artificial intelligence). Menurut studi itu, dengan AI yang siap untuk melakukan lebih banyak tugas manual dan berulang, para karyawan yang disurvei menunjukkan bahwa keterlibatan dalam pekerjaan yang lebih berdampak adalah faktor utama yang mereka pedulikan di luar kompensasi dan keamanan. Namun, para pelaku usaha belum menyadarinya.
Para eksekutif yang disurvei menempatkan pekerjaan yang berdampak sebagai faktor yang tidak terlalu penting bagi tenaga kerja mereka. Para eksekutif yang disurvei justru menempatkan pengaturan kerja yang fleksibel sebagai hal terpenting di luar kompensasi dan keamanan. Padahal, para karyawan yang disurvei menyatakan keterlibatan dalam pekerjaan yang lebih berdampak adalah lebih penting dari pengaturan kerja yang fleksibel, peluang pertumbuhan, dan kesetaraan.
“Menjembatani kesenjangan ini sangatlah penting untuk memastikan tenaga kerja memfokuskan energi dan waktu mereka untuk melakukan pekerjaan yang lebih kreatif dan berdampak bagi perusahaan, sedangkan AI and otomasi dimanfaatkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berulang dan lebih memakan waktu,” ujar Andrian Purnama (Managing Partner, IBM Indonesia).
Selain itu, para eksekutif yang disurvei juga memperkirakan bahwa 40% dari tenaga kerja mereka akan membutuhkan pelatihan ulang sebagai dampak dari penerapan AI dan otomatisasi selama tiga tahun ke depan. Ini berarti sekitar 1,4 miliar orang — terdapat 3,4 miliar tenaga kerja global menurut Bank Dunia — perlu dilatih ulang dalam waktu dekat. Para eksekutif yang disurvei pun menilai bahwa membangun keterampilan baru bagi karyawan yang sudah ada merupakan masalah pengelolaan talenta yang paling utama.
Menariknya, terdapat juga perbedaan penilaian antara para eksekutif yang disurvei dengan para karyawan yang disurvei mengenai talenta. Para eksekutif menyebutkan bahwa gagap teknologi adalah masalah talenta terpenting kedua, tetapi hanya 21% karyawan yang mengatakan bahwa kurangnya kecakapan teknis di seluruh tim mereka adalah tantangan utama sehari-hari.
“Meskipun AI terus terimplementasi di hampir seluruh proses bisnis dalan suatu perusahaan, namun tenaga kerja manusia tetaplah menjadi keunggulan kompetitif utama bagi bisnis. Oleh karena itu, sangat penting bagi para eksekutif untuk dapat memimpin dan mengarahkan tenaga kerja mereka dalam melewati pergeseran ini dan memungkinkan mereka untuk sukses dan tetap berkembang di era baru AI generatif,” kata Andrian Purnama.
Studi Augmented work for an automated, AI-driven world bisa Anda unduh di sini untuk melihat temuan yang ada secara lebih lengkap.